MAKARTI JAYA
Sunday 24 January 2021
Monday 5 October 2015
Thursday 8 August 2013
Sunday 4 August 2013
Krisis Air Bersih di Indonesia
January 21, 2013
Kuninganonline.com - Adakah manusia yang tidak butuh air bersih? Sudah pasti jawabannya: TIDAK! Semua manusia pasti butuh air bersih. Bahkan, tak hanya manusia, semua makhluk hidup pasti butuh air bersih.
Tapi tahukah anda, berapa banyak ketersediaan air yang ada saat ini? Silahkan lihat paparan di bawah ini.
Meskipun 70% permukaan bumi kita berupa air, namun ternyata sedikit sekali air yang bisa di konsumsi oleh manusia. Ternyata 97,5% merupakan air asin yang ada di laut. Dan hanya 2,5% saja yang merupakan air tawar (fresh water).
Dari jumlah air tawar yang hanya 2,5% tersebut, tidak semuanya bisa di gunakan langsung oleh manusia. Karena, 68,7% dari jumlah air tawar yang ada ternyata bentuk gletser (bongkahan es). Sisanya pun masih terbagi ke dalam air tanah, air tanah beku, air permukaan dan air kelembaban.
UNESCO melaporkan, dari total air yang ada di bumi, hanya 0,4% yang bisa dikonsumsi oleh manusia. Angka yang hanya 0,4% itu bahkan sudah termasuk dengan air yang terkandung dalam hewan, tumbuhan dan buah-buahan yang bisa di konsumsi oleh manusia. Air yang hanya 0,4% inilah yang setiap hari dipergunakan oleh 7 milyar lebih manusia yang ada di muka bumi.
Seharusnya sebagai penduduk Indonesia, kita tak perlu khawatir dengan isu tentang krisis air. Tuhan sudah banyak sekali menganugrahkan banyak sekali sumber air di Indonesia. Sungai, danau, atau mata air adalah pemandangan yang mudah sekali di temukan. Selain itu, Indonesia juga mempunyai curah hujan yang tinggi.
Semua anugrah itu kemudian menempatkan Indonesia menjadi Negara terbesar ke-5 dalam hal ketersediaan air, yang kini sebesar 3,22 triliun kubik per tahun! Artinya, setiap kepala di Indonesia seharusnya bisa menikmati 16.800 meter kubik per tahun! Ya, itu untuk satu orang saja! Jauh di atas rata-rata ketersediaan air per capital di dunia yang hanya mematok di kisaran angka 8.000 meter kubik per tahun.
Tapi itu tadi “seharusnya”, lain hal dengan kenyataan yang ada. Faktanya, banyak daerah di negeri ini yang krisis air. Mungkin sedikit masuk akal jika krisis air itu terjadi di daerah-daerah yang jauh dari sungai, danau, atau sumber air lain seperti curah hujan. Yang tidak masuk akal misalnya adalah, ketika daerah-daerah yang dekat sumber air justru mengalami krisis air.
Sebut saja misalnya penduduk kaki Gunung Kidul. Padahal, bukannya gunung itu merupakan tempat alami sumber air? Hal serupa juga dialami penduduk di Makarti Jaya, Banyuasin, Sumatera Selatan. Mereka mengalami krisis, padahal tinggal di sekitar Sungai Musi. Dan yang lebih ironis, ketika Kota Hujan Bogor dinyatakan secara resmi tengah mengalami krisis air! Itu terjadi bulan lalu, Agustus 2012. Ribuan penduduk di 12 Kecamatan (57 Desa) di Bogor faktanya krisis air! Sekali lagi, mereka, penduduk Kota Hujan itu, saat ini tengah “mengalami” krisis air, bukan sedang “terancam”, tapi sudah benar-benar mengalami.
Semakin mengerikan lagi ketika krisis air itu kemudian memicu wabah penyakit. Menurut laporan PBB tahun 2010, setiap tahun ada 3,3 juta jiwa meninggal lantaran kurang pasokan air. Padahal, pada tahun 2003, kematian akibat kekurangan air tersebut hanya sebesar 2 juta jiwa.
Wabah diare yang menurut berbagai penelitian bisa di tekan hingga 45% hanya dengan mencuci tangan sebelum makan, ternyata tidak semudah itu. Faktanya di Indonesia kasus diare masih tinggi, ada 1,2 juta kasus per tahun! Masuk akal memang. Bagaimana mau cuci tangan jika air bersihnya tidak tersedia.
Indonesia terancam krisis air sebenarnya sudah pernah di akui oleh pemerintah sejak tahun 2003. Saat itu, Kementrian PU pernah menghitung kebutuhan air di pulau Jawa misalnya, yakni sebesar 38 milyar meter kubik. Itu kebutuhannya, sementara ketersediaan airnya hanya 25 milyar meter kubik per tahun. Diperkirakan, pada tahun 2020, kebutuhan akan meningkat menjadi 42 milyar meter kubik. Sementara di sisi lain, penduduk justru bertambah. Tahun 2020 itu bukan waktu yang lama, hanya tinggal 8 tahun lagi kita sampai di tahun tersebut.
Lho, katanya tadi Indonesia kaya akan ketersediaan air? Memang benar, Negara kita di anugrahi sumber air yang melimpah. Hanya persoalannya, negeri kita juga tidak pintar mengelola anugrah tersebut! Sampai detik ini kita masih saja kerepotan dengan sungai yang meluap ketika musim hujan, dan kekeringan pada musim kemarau? Entah, yang pasti, faktanya sekarang seperti itu.
Di Negara-negara maju, kesadaran akan perlunya bendungan untuk mengatur ketersediaan air sudah begitu besar. Bendungan di fungsikan agar mengatur pasokan air hingga musim kemarau tiba.
Bicara soal bendungan, Indinesia memang sudah tertinggal jauh di banding Negara lain. Amerika tercatat memiliki hampir 3000 bendungan. India 1500 bendungan. Atau yang fantastis, China, yang memiliki 20.000 bendungan! Bayangkan jika menteri perairan China meresmikan satu bendungan setiap hari, maka dia harus menghabiskan waktu 55 tahun! Itu jika kegiatan dia sehari-hari hanya meresmikan bendungan saja.
Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini Negara yang penuh dengan anugerah Yuhan ini hanya memiliki sekitar 280 bendungan saja. Itu pun sebagian diantaranya tidak terawat. Ironis memang. Lalu kemana pemerintah kita? Tidak mungkin kita tidak mampu membangun bendungan banyak. Tidak punya modal? Bukankah kita punya kandungan emas di Papua? Atau cadangan gas alam terbesar di Blok Natuna? Atau kekayaan laut yang melimpah ruah? Kemana semua itu?
Ah,,.sudahlah. Tulisan ini tidak berniat mengarah kesana. Lebih baik, kita menjadi bagian dari sebuah solusi, bukan menjadi bagian dari masalah.
Kuninganonline.com - Adakah manusia yang tidak butuh air bersih? Sudah pasti jawabannya: TIDAK! Semua manusia pasti butuh air bersih. Bahkan, tak hanya manusia, semua makhluk hidup pasti butuh air bersih.
Tapi tahukah anda, berapa banyak ketersediaan air yang ada saat ini? Silahkan lihat paparan di bawah ini.
Meskipun 70% permukaan bumi kita berupa air, namun ternyata sedikit sekali air yang bisa di konsumsi oleh manusia. Ternyata 97,5% merupakan air asin yang ada di laut. Dan hanya 2,5% saja yang merupakan air tawar (fresh water).
Dari jumlah air tawar yang hanya 2,5% tersebut, tidak semuanya bisa di gunakan langsung oleh manusia. Karena, 68,7% dari jumlah air tawar yang ada ternyata bentuk gletser (bongkahan es). Sisanya pun masih terbagi ke dalam air tanah, air tanah beku, air permukaan dan air kelembaban.
UNESCO melaporkan, dari total air yang ada di bumi, hanya 0,4% yang bisa dikonsumsi oleh manusia. Angka yang hanya 0,4% itu bahkan sudah termasuk dengan air yang terkandung dalam hewan, tumbuhan dan buah-buahan yang bisa di konsumsi oleh manusia. Air yang hanya 0,4% inilah yang setiap hari dipergunakan oleh 7 milyar lebih manusia yang ada di muka bumi.
Seharusnya sebagai penduduk Indonesia, kita tak perlu khawatir dengan isu tentang krisis air. Tuhan sudah banyak sekali menganugrahkan banyak sekali sumber air di Indonesia. Sungai, danau, atau mata air adalah pemandangan yang mudah sekali di temukan. Selain itu, Indonesia juga mempunyai curah hujan yang tinggi.
Semua anugrah itu kemudian menempatkan Indonesia menjadi Negara terbesar ke-5 dalam hal ketersediaan air, yang kini sebesar 3,22 triliun kubik per tahun! Artinya, setiap kepala di Indonesia seharusnya bisa menikmati 16.800 meter kubik per tahun! Ya, itu untuk satu orang saja! Jauh di atas rata-rata ketersediaan air per capital di dunia yang hanya mematok di kisaran angka 8.000 meter kubik per tahun.
Tapi itu tadi “seharusnya”, lain hal dengan kenyataan yang ada. Faktanya, banyak daerah di negeri ini yang krisis air. Mungkin sedikit masuk akal jika krisis air itu terjadi di daerah-daerah yang jauh dari sungai, danau, atau sumber air lain seperti curah hujan. Yang tidak masuk akal misalnya adalah, ketika daerah-daerah yang dekat sumber air justru mengalami krisis air.
Sebut saja misalnya penduduk kaki Gunung Kidul. Padahal, bukannya gunung itu merupakan tempat alami sumber air? Hal serupa juga dialami penduduk di Makarti Jaya, Banyuasin, Sumatera Selatan. Mereka mengalami krisis, padahal tinggal di sekitar Sungai Musi. Dan yang lebih ironis, ketika Kota Hujan Bogor dinyatakan secara resmi tengah mengalami krisis air! Itu terjadi bulan lalu, Agustus 2012. Ribuan penduduk di 12 Kecamatan (57 Desa) di Bogor faktanya krisis air! Sekali lagi, mereka, penduduk Kota Hujan itu, saat ini tengah “mengalami” krisis air, bukan sedang “terancam”, tapi sudah benar-benar mengalami.
Semakin mengerikan lagi ketika krisis air itu kemudian memicu wabah penyakit. Menurut laporan PBB tahun 2010, setiap tahun ada 3,3 juta jiwa meninggal lantaran kurang pasokan air. Padahal, pada tahun 2003, kematian akibat kekurangan air tersebut hanya sebesar 2 juta jiwa.
Wabah diare yang menurut berbagai penelitian bisa di tekan hingga 45% hanya dengan mencuci tangan sebelum makan, ternyata tidak semudah itu. Faktanya di Indonesia kasus diare masih tinggi, ada 1,2 juta kasus per tahun! Masuk akal memang. Bagaimana mau cuci tangan jika air bersihnya tidak tersedia.
Indonesia terancam krisis air sebenarnya sudah pernah di akui oleh pemerintah sejak tahun 2003. Saat itu, Kementrian PU pernah menghitung kebutuhan air di pulau Jawa misalnya, yakni sebesar 38 milyar meter kubik. Itu kebutuhannya, sementara ketersediaan airnya hanya 25 milyar meter kubik per tahun. Diperkirakan, pada tahun 2020, kebutuhan akan meningkat menjadi 42 milyar meter kubik. Sementara di sisi lain, penduduk justru bertambah. Tahun 2020 itu bukan waktu yang lama, hanya tinggal 8 tahun lagi kita sampai di tahun tersebut.
Lho, katanya tadi Indonesia kaya akan ketersediaan air? Memang benar, Negara kita di anugrahi sumber air yang melimpah. Hanya persoalannya, negeri kita juga tidak pintar mengelola anugrah tersebut! Sampai detik ini kita masih saja kerepotan dengan sungai yang meluap ketika musim hujan, dan kekeringan pada musim kemarau? Entah, yang pasti, faktanya sekarang seperti itu.
Di Negara-negara maju, kesadaran akan perlunya bendungan untuk mengatur ketersediaan air sudah begitu besar. Bendungan di fungsikan agar mengatur pasokan air hingga musim kemarau tiba.
Bicara soal bendungan, Indinesia memang sudah tertinggal jauh di banding Negara lain. Amerika tercatat memiliki hampir 3000 bendungan. India 1500 bendungan. Atau yang fantastis, China, yang memiliki 20.000 bendungan! Bayangkan jika menteri perairan China meresmikan satu bendungan setiap hari, maka dia harus menghabiskan waktu 55 tahun! Itu jika kegiatan dia sehari-hari hanya meresmikan bendungan saja.
Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini Negara yang penuh dengan anugerah Yuhan ini hanya memiliki sekitar 280 bendungan saja. Itu pun sebagian diantaranya tidak terawat. Ironis memang. Lalu kemana pemerintah kita? Tidak mungkin kita tidak mampu membangun bendungan banyak. Tidak punya modal? Bukankah kita punya kandungan emas di Papua? Atau cadangan gas alam terbesar di Blok Natuna? Atau kekayaan laut yang melimpah ruah? Kemana semua itu?
Ah,,.sudahlah. Tulisan ini tidak berniat mengarah kesana. Lebih baik, kita menjadi bagian dari sebuah solusi, bukan menjadi bagian dari masalah.
Ditemukan, Dua Korban Tabrakan Speedboat
Thursday, 04 April 2013 16:11
RS BHAYANGKARA - Dua dari tiga korban kecelakaan speedboat yang dinyatakan hilang, berhasil ditemukan Ditpolair Polda Sumsel, Kamis (04/04). Korban yang ditemukan itu, Yolanda (11), adik dari Helen (korban tewas,red); dan Haderi (50), sopir speedboat Akhirnya Datang Juga (ADJ) 40 PK. Yolanda ditemukan mengapung di Perairan Sungai Musi di kawasan Makarti Jaya, atau berjarak sekitar sekitar 1 kilometer dari TKP, kemarin (04/04), sekitar pukul 10.00 WIB. Kondisi jasad Yolanda masih segar dan pakaiannya masih lengkap.
Namun dari mulut dan kepala Yolanda ditemukan bekas darah mengalir, luka di kepala dan rahang diduga terkena benturan pecahan speedboat saat kejadian. Jasad korban dibawa ke kamar mayat RS Bhayangkara Polda Sumsel, untuk divisum, sebelum dibawa pulang ke rumah duka, guna dikebumikan.
Keluarga korban diwakili Doni, langsung mendatangi RS Bhayangkara, setelah menerima informasi dari anggota Polair. Ketika tiba, Doni terlihat pasrah dan meneteskan air mata, melihat adiknya ditemukan sudah tak bernyawa. Bagaimana tidak, selain anak dan istrinya (Diandra dan Fita) berhasil selamat, namun adiknya nomor 6 (Yolanda), malah bernasib sama dengan adiknya Helen.
Hal itulah membuat Doni terpukul, dengan beratnya cobaan yang dialaminya. Di hari yang sama, nyawa kedua adik perempuan Doni ini, tewas didepan matanya. Didepan mayat adiknya, Doni hanya bisa mengatakan ‘Ya Allah, Yolanda Adikku’, teriak Doni sembari memegang kepala Yolanda di ruang Forensik RS Bhayangkara.
Sedangkan ayah korban, Muhammad (47) dan ibunya Onah (45), diakui Doni tak bisa mendatangi rumah sakit untuk menjemput jenazah Yolanda, karena masih mengurusi pemakaman Helen. ‘’Bapak sama ibu idak ikut, masih ngurusi acara pemakaman Helen di rumah,” tutur Doni.
Sementara korban Haderi, sopir speedboat 40 PK, diketahui ternyata merupakan kakak kandung dari Cik Unah (45), penumpang speedboat 40 PK. Dua saudara itu, warga Desa Upang Marga, RT 11/04, Kecamatan Makarti Jaya, Banyuasin. Haderi ditemukan Kamis (04/04), sekitar pukul 13.00 WIB, dengan jarak sekitar 500 meter dari TKP dan langsung dievakuasi ke RS Bhayangkara.
Keluarganya pun langsung mendatangi kamar mayat untuk menjemput korban dan langsung divisum, sebelum dibawa pulang, untuk dimakamkan. Menurut Junari (35), adik Haderi, mengatakan bahwa kesehariannya, kedua kakaknya ini memang berbeda. Cik Unah kesehariannya nelayan, sedangkan Haderi kakak nomor 2 dari 6 bersaudara itu, penarik penumpang dari Sungsang kearah Palembang.
‘’Aku anak nomor 4, Cik Unah No 3, dan Haderi No 2. Haderi memang kerjaannya narik penumpang. Tapi Cik Unah, Cuma nelayan. Ke Palembang, Cuma nak belanja bae,” tutur Junari saat ditemui di ruang Forensik RS Bhayangkara. Sore itu juga, jenazah korban langsung dipulangkan ke rumah duka, untuk dikebumikan.
Kondisi Diandra Membaik
Kondisi Diandra, bayi usia 8 bulan yang merupakan salah satu korban kecelakaan speedboat, sudah mulai membaik. Saat ditemui wartawan, Kamis (04/04), Diandra sudah tak dirawat terpisah lagi dengan ibunya, Fita, melainkan dirawat di ruangan Walet 2 bersama-sama. Diandra sudah sadar dan kembali menyusui dengan ibunya, meskipun masih terlihat bekas luka gores di wajahnya.
Begitu juga dengan Fita, sudah membaik, meski masih lemah. Keduanya masih dirawat di RS Pelabuhan Boombaru. Fita mengaku dirinya hanya menunggu kondisi anaknya, hingga benar-benar pulih, baru pulang ke rumah. ‘’Aku Cuma merasa lemah, terus tinggal nunggu Diandra sehat jugo. Jadi masih sama-sama dirawat disini,” jelasnya.
Sementara itu, sekitar pukul 09.00 WIB, Kepala BPBD Kesbangpol Banyuasin Harobin Mustofa, bersama Kades Sungsang II Maemunah, datang membesuk ibu dan anak ini. Dalam kunjungannya, Harobin menyampaikan rasa prihatin atas kejadian. Bahkan, Harobin memberikan bantuan masing-masing senilai Rp 1 juta, kepada ibu dan anak ini, serta pihaknya berjanji akan menanggung pengobatan dan biaya rumah sakit selama perawatan.
Harobin mengaku Pemkab Banyuasin, atas nama Bupati juga akan memberikan bantuan kepada semua korban yang meninggal dalam kecelakaan itu, dengan bantuan senilai Rp 2,5 juta kepada masing-masing korban meninggal. ‘’Atas nama Bapak Bupati yang tak bisa datang, kami sampaikan rasa prihatin atas musibah ini. Korban akan diberikan bantuan oleh Bupati berupa uang,” kata Harobin.
Selain itu, tambah Harobin, kejadian ini menjadi pelajaran bagi masyarakat pengguna transportasi air dan Pemkab Banyuasin. Ia berharap kejadian ini tak terulang lagi dan segera mengkoordinasikan hal ini kepada Dishub. ‘’Kita sangat prihatin. Kedepannya, kita akan koordinasikan kepada Dishub, agar lebih menertibkan kembali aturan dan tata tertib pengguna kendaraan air ini,” katanya.
Sopir Speedboat Tersangka
Terpisah, sopir speedboat Putra Asmara (PA) 200 PK Sarbini (35), warga Desa Sungsang, Kecamatan Makarti Jaya, Banyuasin, malah dijadikan tersangka dalam kasus ini. ‘’Sarbini sudah dijadikan tersangka. Kini masih dalam pemeriksaan lebih lanjut. Selain fokus ke pencarian, kemarin sampai hari ini,” jelas Dirpolair Polda Sumsel Kombes Pol Omad, melalui Kasi Gakkum AKBP Denny Hariyadi SIk.
Disinggung penyebab kecelakaan, Omad mengaku diduga ada kelalaian yang dilakukan serang speedboat ini. ‘’Hal tersebut susah untuk kita jelaskan, karena diketahui pasa serang juga lebih mementingkan waktu dan uang, ketimbang keselamatan mereka dan penumpang. Mereka maunya cepat-cepat sampai dan kembali lagi ke tempat semula, untuk mengangkut penumpang lain, begitu juga sebaliknya terhadap serang lain,” tegasnya. (cr08/cr09/day)
RS BHAYANGKARA - Dua dari tiga korban kecelakaan speedboat yang dinyatakan hilang, berhasil ditemukan Ditpolair Polda Sumsel, Kamis (04/04). Korban yang ditemukan itu, Yolanda (11), adik dari Helen (korban tewas,red); dan Haderi (50), sopir speedboat Akhirnya Datang Juga (ADJ) 40 PK. Yolanda ditemukan mengapung di Perairan Sungai Musi di kawasan Makarti Jaya, atau berjarak sekitar sekitar 1 kilometer dari TKP, kemarin (04/04), sekitar pukul 10.00 WIB. Kondisi jasad Yolanda masih segar dan pakaiannya masih lengkap.
Namun dari mulut dan kepala Yolanda ditemukan bekas darah mengalir, luka di kepala dan rahang diduga terkena benturan pecahan speedboat saat kejadian. Jasad korban dibawa ke kamar mayat RS Bhayangkara Polda Sumsel, untuk divisum, sebelum dibawa pulang ke rumah duka, guna dikebumikan.
Keluarga korban diwakili Doni, langsung mendatangi RS Bhayangkara, setelah menerima informasi dari anggota Polair. Ketika tiba, Doni terlihat pasrah dan meneteskan air mata, melihat adiknya ditemukan sudah tak bernyawa. Bagaimana tidak, selain anak dan istrinya (Diandra dan Fita) berhasil selamat, namun adiknya nomor 6 (Yolanda), malah bernasib sama dengan adiknya Helen.
Hal itulah membuat Doni terpukul, dengan beratnya cobaan yang dialaminya. Di hari yang sama, nyawa kedua adik perempuan Doni ini, tewas didepan matanya. Didepan mayat adiknya, Doni hanya bisa mengatakan ‘Ya Allah, Yolanda Adikku’, teriak Doni sembari memegang kepala Yolanda di ruang Forensik RS Bhayangkara.
Sedangkan ayah korban, Muhammad (47) dan ibunya Onah (45), diakui Doni tak bisa mendatangi rumah sakit untuk menjemput jenazah Yolanda, karena masih mengurusi pemakaman Helen. ‘’Bapak sama ibu idak ikut, masih ngurusi acara pemakaman Helen di rumah,” tutur Doni.
Sementara korban Haderi, sopir speedboat 40 PK, diketahui ternyata merupakan kakak kandung dari Cik Unah (45), penumpang speedboat 40 PK. Dua saudara itu, warga Desa Upang Marga, RT 11/04, Kecamatan Makarti Jaya, Banyuasin. Haderi ditemukan Kamis (04/04), sekitar pukul 13.00 WIB, dengan jarak sekitar 500 meter dari TKP dan langsung dievakuasi ke RS Bhayangkara.
Keluarganya pun langsung mendatangi kamar mayat untuk menjemput korban dan langsung divisum, sebelum dibawa pulang, untuk dimakamkan. Menurut Junari (35), adik Haderi, mengatakan bahwa kesehariannya, kedua kakaknya ini memang berbeda. Cik Unah kesehariannya nelayan, sedangkan Haderi kakak nomor 2 dari 6 bersaudara itu, penarik penumpang dari Sungsang kearah Palembang.
‘’Aku anak nomor 4, Cik Unah No 3, dan Haderi No 2. Haderi memang kerjaannya narik penumpang. Tapi Cik Unah, Cuma nelayan. Ke Palembang, Cuma nak belanja bae,” tutur Junari saat ditemui di ruang Forensik RS Bhayangkara. Sore itu juga, jenazah korban langsung dipulangkan ke rumah duka, untuk dikebumikan.
Kondisi Diandra Membaik
Kondisi Diandra, bayi usia 8 bulan yang merupakan salah satu korban kecelakaan speedboat, sudah mulai membaik. Saat ditemui wartawan, Kamis (04/04), Diandra sudah tak dirawat terpisah lagi dengan ibunya, Fita, melainkan dirawat di ruangan Walet 2 bersama-sama. Diandra sudah sadar dan kembali menyusui dengan ibunya, meskipun masih terlihat bekas luka gores di wajahnya.
Begitu juga dengan Fita, sudah membaik, meski masih lemah. Keduanya masih dirawat di RS Pelabuhan Boombaru. Fita mengaku dirinya hanya menunggu kondisi anaknya, hingga benar-benar pulih, baru pulang ke rumah. ‘’Aku Cuma merasa lemah, terus tinggal nunggu Diandra sehat jugo. Jadi masih sama-sama dirawat disini,” jelasnya.
Sementara itu, sekitar pukul 09.00 WIB, Kepala BPBD Kesbangpol Banyuasin Harobin Mustofa, bersama Kades Sungsang II Maemunah, datang membesuk ibu dan anak ini. Dalam kunjungannya, Harobin menyampaikan rasa prihatin atas kejadian. Bahkan, Harobin memberikan bantuan masing-masing senilai Rp 1 juta, kepada ibu dan anak ini, serta pihaknya berjanji akan menanggung pengobatan dan biaya rumah sakit selama perawatan.
Harobin mengaku Pemkab Banyuasin, atas nama Bupati juga akan memberikan bantuan kepada semua korban yang meninggal dalam kecelakaan itu, dengan bantuan senilai Rp 2,5 juta kepada masing-masing korban meninggal. ‘’Atas nama Bapak Bupati yang tak bisa datang, kami sampaikan rasa prihatin atas musibah ini. Korban akan diberikan bantuan oleh Bupati berupa uang,” kata Harobin.
Selain itu, tambah Harobin, kejadian ini menjadi pelajaran bagi masyarakat pengguna transportasi air dan Pemkab Banyuasin. Ia berharap kejadian ini tak terulang lagi dan segera mengkoordinasikan hal ini kepada Dishub. ‘’Kita sangat prihatin. Kedepannya, kita akan koordinasikan kepada Dishub, agar lebih menertibkan kembali aturan dan tata tertib pengguna kendaraan air ini,” katanya.
Sopir Speedboat Tersangka
Terpisah, sopir speedboat Putra Asmara (PA) 200 PK Sarbini (35), warga Desa Sungsang, Kecamatan Makarti Jaya, Banyuasin, malah dijadikan tersangka dalam kasus ini. ‘’Sarbini sudah dijadikan tersangka. Kini masih dalam pemeriksaan lebih lanjut. Selain fokus ke pencarian, kemarin sampai hari ini,” jelas Dirpolair Polda Sumsel Kombes Pol Omad, melalui Kasi Gakkum AKBP Denny Hariyadi SIk.
Disinggung penyebab kecelakaan, Omad mengaku diduga ada kelalaian yang dilakukan serang speedboat ini. ‘’Hal tersebut susah untuk kita jelaskan, karena diketahui pasa serang juga lebih mementingkan waktu dan uang, ketimbang keselamatan mereka dan penumpang. Mereka maunya cepat-cepat sampai dan kembali lagi ke tempat semula, untuk mengangkut penumpang lain, begitu juga sebaliknya terhadap serang lain,” tegasnya. (cr08/cr09/day)
Subscribe to:
Posts (Atom)